Fenomena Tik Tok dan Literasi
Digital yang Luput
Pemblokiran
bukan solusi terbaik jika tidak memberikan dampak positif

Tik Tok
adalah platform untuk membuat video musik pendek
Untuk sekian kalinya Kemenkominfo
memberlakukan pemblokiran terhadap platform berbasis konten lalu membuka
kembali dalam waktu yang relatif singkat. Saat ini blokir terhadap aplikasi video-musik
Tik Tok, Sebelumnya “gertakan” serupa juga pernah dilayangkan kepada Bigo Live.
Pada prinsipnya, saya tidak setuju
dengan model pencegahan melalui mekanisme pemblokiran. Terlebih dalihnya adalah
adanya konten negatif di platform tersebut, seperti yang terjadi pada Tumblr
dan Reddit. Konten negatif akan selalu ada, kalau dicari-cari. Pun demikian
platform WordPress.com, Blogger.com, Facebook, atau Twitter sekalipun.
Sering kali yang diisukan
pemerintah adalah fitur dan jalur khusus untuk pelaporan. Demi pangsa pasar
besar, penyedia platform biasanya langsung mencoba menuruti kemauan pemerintah.
Hal senada dilakukan manajemen Tik Tok di Indonesia beberapa hari terakhir.
Untuk Tik Tok, solusi represif
pemblokiran tampaknya menjadi jalan yang paling masuk akal. Tentu saya
mempertaruhkan konsistensi penolakan terhadap pemblokiran dalam kasus ini,
karena ada urgensi lain yang patut dipertimbangkan.
Melihat kondisi yang ada
Diungkapkan Menkominfo Rudiantara,
alasan mendasar pemblokiran Tik Tok adalah adanya konten (yang cenderung)
negatif dan banyak dikonsumsi anak-anak. Meskipun tidak ada data statistik yang
bisa dipaparkan, namun jika melihat secara kasat mata, konsumen anak-anak
memang mendominasi. Kemenkominfo mengaku juga telah berkoordinasi dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia.
“Situs Tik Tok kami blokir. Banyak
kontennya yang negatif terutama bagi anak-anak,” ujar Rudiantara dalam
keterangan tertulisnya.
Dalih masyarakat yang menyayangkan
pemblokiran Tik Tok umumnya mengungkapkan bahwa platform tersebut tidak salah,
bahkan harusnya bisa digunakan untuk media kreatif. Benar demikian, saya pun
setuju dan melayangkan hal yang sama saat Kemenkominfo memblokir Medium.
Sayangnya permasalahan yang terjadi pada Tik Tok sudah menjadi fenomena. Kesan
pertama pengguna Tik Tok adalah membuat postingandengan kadar alay semaksimal
mungkin, demi meraih viral.
Banyak kasus yang bisa dibuat
contoh dan saya rasa semua juga sudah tahu. Sebagai platform Tik Tok tidak
salah, karena keluaran dari sebuah alat bergantung pada penggunanya. Masalahnya
pengguna yang kali ini ingin coba “diselamatkan” adalah kalangan anak. Secara
teori (awalnya) aplikasi tersebut memang sudah dibatasi untuk pengguna berusia
12 tahun ke atas, tapi fakta di lapangan kan tidak semerdu itu.
Justifikasi lain mempertanyakan
peran orang tua yang tidak bisa mengontrol anaknya saat menggunakan ponsel
pintar. Menurut saya, hal ini adalah sebuah keniscayaan yang membutuhkan waktu
lama untuk berproses.
Dalam istilah teknologi ada yang
disebut dengan “digital native”, sederhananya digunakan untuk menyebut
orang-orang yang sejak belia sudah dihidangkan ragam alat teknologi. Ada
juga “digital immigrant”, yakni golongan tua yang sedang berusaha
beradaptasi dengan teknologi. Keduanya memiliki kecepatan yang berbeda saat
mengadopsi dan menggunakan teknologi, termasuk memahami perkembangan aplikasi
di ponsel pintar.
Untuk kalangan digital
immigrant, jangankan memahami keberadaan aplikasi Tik Tok. Untuk memahami
operasi dasar di ponsel pintar saja membutuhkan waktu yang lama. Mereka merasa
cukup saat bisa memanfaatkan untuk keperluan komunikasi, tidak semua, tapi saya
yakin Anda juga mudah menemukan yang demikian. Dalam kondisi tersebut, dengan
pemahaman yang tidak banyak soal teknologi dan aplikasi, lantas bagaimana
mereka bisa memberikan literasi digital ke anaknya?
Saya pun tidak yakin orang tua
anak pemain Tik Tok itu tahu apa yang dilakukan buah hatinya di aplikasi. Bahkan
tentang apa yang mereka unggah pun saya kurang yakin mereka mengawasi. Maka di
sini pemangku kebijakan dapat berperan melalui sistem. Saya menilai pemblokiran
Tik Tok memiliki urgensi untuk mengubah persepsi penggunaan aplikasi kreatif,
penghentian sementara dilakukan agar virus alay tadi tidak
kunjung mendarah daging ke kalangan anak-anak.
Sepakat untuk hal baik, kenapa
tidak? Dengan pemblokiran dan pemberitaan yang luas sedikit-demi sedikit turut
memberikan informasi relevan kepada orang tua tentang fenomena yang sebenarnya
terjadi. Ini adalah sebuah pembelajaran mahal.
Pasca pemblokiran Tik Tok berbenah
Sejak blokir dilepaskan, manajemen
Tik Tok di Indonesia berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dan
institusi terkait dalam program pengembangan dunia digital, pemberdayaan
wanita, perlindungan anak dan kejahatan siber. Melalui gagasan ini, Tik Tok
akan merancang lebih banyak program dan kesempatan bagi pembuat konten untuk
mengembangkan kreativitas mereka yang dapat memberikan dampak kepada komunitas
dan mendistribusi lebih banyak konten edukasi digital.
Tik Tok juga berkolaborasi dengan
ICT Watch dan jaringan Gerakan Nasional Literasi Digital dalam pengadaan
beberapa seri program online dan offline untuk advokasi literasi digital dan
mempromosikan konten edukasi penggunaan internet secara aman dan bijak,
terutama di kalangan anak muda. Tik Tok juga sedang membicarakan kerja sama
dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk membuat program-program
yang memastikan generasi muda memiliki pengalaman online yang aman, sehat dan
edukatif.
Lantas, bukankah itu yang kita
semua harapkan untuk masyarakat digital Indonesia yang lebih baik? Proses
bisnis digital sangat bergantung pada sistem. Jadi idealnya sistem digital
(termasuk aplikasi) harus didesain untuk meminimalisir hal negatif.
Komentar
Posting Komentar